“Jadi sebenarnya coba yuk sama-sama dinginkan kepalanya supaya kita sama-sama mempembaharui lah,” kata Rieka Roslan saat ditemui di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Dengan nada bercanda, Rieka menjelaskan bahwa kebutuhan hidup sehari-hari jadi alasan kenapa para komposer mendesak kejelasan soal sistem pembayaran royalti.
“Nah kenapa AKSI dibilang ‘kenapa sih kok buru-buru amat ada apa?’, nggak ada apa-apa sih, cuma ada tagihan listrik gue, bayar sekolah anak, sama rumah sakit, sama asuransi segala macam tiap bulan,” ujarnya sambil tertawa.
Ia menyindir balik pihak-pihak yang mempertanyakan urgensi langkah yang diambil AKSI.
“Jadi maaf kalau ada orang yang ngomong ‘ada apa sih kok buru-buru amat AKSI kayak dikejar-kejar’, tentu dikejar. Apa? Tagihan bulan,” ucap Rieka.
“Andai kalian bekerja tapi bayarannya tidak sesuai dan harus nunggu, apakah akan protes? Buruh aja protes, kami juga buruh loh, buruh musik, clear ya Alhamdulillah,” tegasnya.
Konsep direct license serta Digital Direct License (DDL) memang tengah ramai diperbincangkan sejak digaungkan AKSI. Namun upaya ini juga mendapat kritik karena dinilai terlalu berorientasi pada uang, padahal bagi para komposer, ini soal keberlangsungan hidup dan profesionalisme.